Sang Buddha lahir di antara
suku Sakya, di sebuah kerajaan di negeri yang sekarang bernama Nepal.
Raja di sana bernama Suddhodhana, permaisurinya adalah Ratu Maya.
Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak
yang sangat mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu
waktu Ratu Maya mencapai umur 45 tahun. Ketika itu Ratu Maya ikut serta
dalam perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah
perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucapkan janji
uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.
Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu
bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya
ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di
(lereng) Mannosilatala. Kemudian para istri Dewa-Dewa Agung tersebut
memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan
kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasanya dipakai oleh para
dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan
direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor
gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai dibelalainya memasuki
kamar, mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki
perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahu impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para
Brahmana untuk menanyakan arti dari impian tersebut. Para Brahmana
menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak
akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau seorang
Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan
jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan
muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Waisak Ratu memohon perkenan dari Raja
untuk bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha
tibalah rombongan Ratu di taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar,
Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan
berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman
dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya
agak kurang enak. Secepatnya para dayang memasang tirai di sekeliling
Ratu. Ratu berpegangan pada sebatang dahan pohon Sala, dan dalam sikap
berdiri itu lahirlah bayi laki-laki. Waktu itu tepat bulan purnama di
bulan Waisak, tahun 623 sebelum masehi (SM).
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring emas. Dari langit
turunlah air hangat bercampur dingin untuk memandikan anak itu, walaupun
sebetulnya sang bayi sudah bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi itu
kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap dia menapak, di
bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu Ia berkata:
"Aggo `ham asmi lokassa
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
artinya adalah:
"Akulah pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi"
Seorang pertapa bernama Asita (juga di sebut Kaladevala) diberitahu
oleh para dewa, bahwa telah lahir seorang bayi lelaki yang kelak menjadi
seorang Buddha (Yang Sadar). Maka Asita pun berangkat ke tempat bangsa
Sakya. Asita melihat sang bayi memiliki 32 tanda dari seorang
Mahapurisa, ialah "orang besar": Asita segera memberi hormat
kepada sang bayi, lalu Raja Suddhodhana menirunya. Asita tertawa
bergembira, lalu kemudian menangis. Raja bertanya, mengapa? Pertapa itu
menjelaskan, dia tertawa karena senang bahwa bayi itu akan menjadi
Buddha kelak, tetapi dia menangis, karena dia sudah tua, tidak akan
berkesempatan turut menerima ajaran-ajaran Sang Buddha itu.
Pertapa Asita meneruskan berkata wanti-wanti agar di masa pangeran
tumbuh jangan diperbolehkan melihat empat hal, jika Raja tak ingin
pangeran menjadi Buddha, ialah: orang tua, orang sakit, orang mati, dan
seorang pertapa. Jika pangeran melihat empat jenis kehidupan itu, dia
pasti akan meninggalkan istana. Pada hari yang sama, lahir pula (timbul)
dalam dunia ini:
Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahula mata (ibu dari
Rahula).
Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhartha.
Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhartha.
Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali
ke Kanilavatthu.
Seekor gajah istana.
Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhartha kelak akan
mendapatkan Agung.
Nidhikumbhi, kendi tempat