Eko:"Wah,
pusing nih, besok kalau gue meninggal kayaknya kagak
disembahyangi nih, habis pegang hio, pasang foto gue dibilangin
sama anak tidak boleh"
Sue: "Bukan
loe aja, kalau bini gua beli banyak buah-buahan buat sembahyang,
anak gue kagak ada satupun yang mau makan, katanya nggak boleh
karena bekas sembahyang. Jadi daripada mesti buang, akhirnya beli
seadanya saja"
Sugi:"Itu
mah belum parah, yang parah tuh kalau gue lagi sembahyang
leluhur dibilangin lagi sembah berhala, entar bisa jatuh ke
Neraka"
Contoh
pembicaraan di atas adalah cuplikan yang tidak jarang kita
dengar, saat kita melayat di rumah duka. Apakah hanya sebatas itu
yang Anda harapkan dari anak Anda? Apakah Anda takut tidak ada
yang menyembah-yangkan sesudah Anda meninggal, atau sekadar ingin
dia hanya ikut pasang-pasang hio, dan sebagainya.
Tidak
demikian, sesung-guhnya yang kita inginkan adalah agar anak kita
dapat
tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti, pintar, bermoral, mempunyai ketahanan yang baik dalam menghadapi segala jenis masalah hidup, dan sebagainya. Aspek spiritual adalah aspek yang sangat mendasar dan paling penting dalam kehidupan baik bagi Anda maupun anak anda.
tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti, pintar, bermoral, mempunyai ketahanan yang baik dalam menghadapi segala jenis masalah hidup, dan sebagainya. Aspek spiritual adalah aspek yang sangat mendasar dan paling penting dalam kehidupan baik bagi Anda maupun anak anda.
Masalah
yang diungkapkan di atas, jika diartikan secara lebih khusus
adalah, "Bagaimana orangtua Buddhis dapat mengajarkan ajaran
Buddha dengan baik kepada anak-anaknya?"
Pada
kenyataaannya, aspek ini hampir terabaikan begitu saja.
Bandingkan dengan para orangtua dari non-Buddhis, yang sejak
kecil anaknya sudah dibaptis ataupun dipermandikan menjadi
pengikut agama yang telah diyakini oleh orangtuanya. Orangtua Buddhis
cenderung bersifat acuh tak acuh, dan dengan argumen bahwa biarlah
kelak dia bisa memilih agamanya sendiri, yang penting semua agama
sama, mengajarkan kebaikan. Apakah benar demikian?
Artikel
ini dimaksudkan untuk dapat menjadi bahan perenungan bagi para
orangtua Buddhis, yang sebagian disadurkan dari buku "How To Teach Buddhism to Children", Bodhi Leaves No.B.9. 1961, BPS, Sri Lanka (edisi ke-2, tahun 1975), karangan Dr. Helmuth Klar. Dari
tahun penerbit dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya
masalah ini telah lama menjadi topik yang begitu diperhatikan
oleh para bhikkhu dan para pengikut Buddhisme di Srilangka maupun
di dunia Barat.
Dalam
makalahnya, Dr. Helmuth Klar berbagi pengalaman praktik dengan
anaknya sendiri dan juga dengan anak-anak Barat lainnya, karena
beliau tidak ingin berteori saja. Namun banyak sekali manfaat
yang kita dapatkan dari pengalamannya tersebut.
Jika
kita berada di negara Buddhis, di tengah-tengah tradisi Buddhis
yang telah berabad-abad lamanya, posisi seorang anak Buddhis jauh
lebih mudah. Namun tidak demikian dengan di Indonesia, di mana
Buddhis merupakan minoritas dan dikelilingi oleh berbagai agama
lain, sehingga dapatlah dimengerti peran orangtua merupakan
faktor yang terpenting dalam menanamkan keyakinan pada anaknya.
Dan
perlu disadari penanaman keyakinan pada anak kita secara
otomatis akan berkaitan dengan cara hidup yang benar. Tanamkan
keyakinan pada anak Anda sejak kecil mengenai kebesaran dan
keagungan Sang Buddha.
Suatu
ide yang sangat penting, bila sejak kecil anak-anak harus
dilatih untuk yakin akan keagungan dan kemuliaan Sang Buddha.
Penggunaan patung ataupun gambar Sang Buddha adalah suatu ide
yang bagus untuk mengajarkan anak kita memberikan penghormatan
kepada Sang Buddha, sebagai guru yang agung untuk manusia. Jelaskan
bahwa itu bukanlah penyembahan berhala seperti yang sering
diajarkan oleh para pendidik agama non-Buddhis yang mengharuskan
anak kita mengikuti pelajaran agamanya di sekolah yang berada
dalam naungan suatu agama tertentu. Penggunaan patung Buddha
sebagai objek konsentrasi penghormatan kepada Sang Buddha akan
menjadi lebih efektif mengingatkan kita kepda Sang Guru Agung
dibandingkan simbol-simbol lain. Ibarat seseorang menyimpan foto
orangtuanya akan memudahkan dia untuk mengingat sifat-sifat luhur
orangtua dibandingkan dengan barang-barang yang langsung pernah
diberikan kepadanya.
Demikian
juga penghormatan terhadap anggota Sangha dengan bersujud
ataupun bernamaskara, perlu dijelaskan bahwa itu merupakan cara
penghormatan yang tidak lain seperti penghormatan pada
tradisi-tradisi lain, dan bukanlah menyembah orangnya.
Aspek
filsafat dari Buddhisme yang cenderung terlalu dalam untuk
dimengerti anak-anak dapat dituangkan dalam upacara-upacara
sederhana yang lebih praktis untuk anak-anak. Latihlah anak-anak
untuk melakukan upacara-upacara sederhana seperti persembahan
air, dupa, lilin, ataupun bunga di altar patung/gambar Sang Buddha.
Bahkan perlu juga dijelaskan secara seder-hana arti dari
per-sembahan-persembahan tersebut. Dengan demikian akan
mengembangkan kebiasaan menghormat dan merenungkan sifat-sifat
mulia Sang Buddha sejak kecil.
Memberikan
visudhi kepada anak juga merupakan suatu hal yang sangat baik
untuk mempertebal keyakinan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Memberikan contoh yang baik
Cara
penanaman keyakinan sesungguhnya sangat tergantung pada usia
anak-anak kita, namun satu hal yang pasti dan paling penting
adalah bila orangtuanya hidup sesuai Dhamm. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa anak-anak cenderung akan mengikuti apa yang
dilihat dan didengarnya saat itu juga.
Penanaman
keyakinan kepada anak sangatlah tergantung pada seberapa besar
orangtuanya merealisasikan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh sederhana, orangtua (ayah dan ibu) yang tidak berbakti
kepada orangtuanya (nenek dan kakek), akan menyebabkan
anak-anaknya cenderung akan meniru sifat orangtuanya dan akan
mengakibatkan penanaman sifat tidak berbakti dari sang anak kepada
orangtua, yang sangat bertentangan dengan Dhamma.
Anda
harus merealisasikan Dhamma dan tidak sekadar pembicaraan saja
untuk dapat membuat diri Anda hidup dengan cara benar sehingga
membawa kebahagiaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain,
khususnya keluarga. Dengan cara itu berarti Anda telah memberikan
contoh yang baik kepada anak Anda.
Menyampaikan cerita-cerita Buddhis kepada anak Anda
Anak-anak
umum-nya suka dengan berbagai macam cerita, adalah suatu usaha
yang baik, di mana orangtua Buddhis dapat menyisakan waktu
sedikit, apakah setiap hari, dua hari sekali ataupun seminggu
sekali, membacakan cerita-cerita Buddhis yang ringan, sesuai
dengan usia anaknya, sehingga secara bertahap menanamkan
keyakinan pada Buddha Dhamma lewat intisari cerita-cerita
tersebut. Dapatlah diambil contoh, cerita-cerita Buddhis seperti
Jataka, kisah asal usul syair Dhammapada (Dhammapada Atthakata),
Petavatthu (cerita kisah peta), Vimanavatthu (cerita kisah
dewa/dewi), kehidupan Pangeran Siddhattha hingga mencapai Buddha,
kehidupan sosial selama kehidupan Sang Buddha, dan masih banyak
lagi.
Karena
secara psikologi anak-anak, mereka akan lebih mudah mengerti dan
melekat di pikiran lewat cerita-cerita dari pada diberikan suatu
motto yang ‘wah’ sekalipun. Dalam cerita-cerita
sederhana yang umumnya menggambarkan orang jahat akan mengalami
penderitaan dan orang yang baik ataupun berhati mulia akan
mendapatkan kebahagiaan, secara sadar anak-anak kita akan berusaha
menghindari perbuatan yang tidak terpuji di kemudian hari.
Anda juga dapat memperdengarkan cerita-cerita Buddhis lewat kaset, VCD, dan sebagainya, yang sudah tersedia.
Menerangkan Dhamma dengan cara sederhana
Tumbuhkanlah semangat Dhamma pada anak-anak sejak kecil, misalnya dengan mengajarkan ajaran dasar Buddhisme.
Ajarkanlah
dan tunjukkan Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), dan
Mudita (simpati) yang merupakan komponen penting dalam Buddhisme
kepada anak sejak dini.
Latihlah
anak Anda dengan lima sila dasar (tidak melaku-kan pembunuhan,
tidak melakukan pencurian, tidak melakukan per-buatan asusila,
tidak melakukan ucapan yang tidak benar, dan tidak
meminum-minuman keras yang melemahkan kesadaran) dan apa yang harus
dilakukan oleh seorang umat Buddha dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh umat Buddha.
Ajarkanlah
dengan sederhana apa yang dimaksud dan mengapa harus melatih
sila-sila tersebut dengan cara yang sederhana dan jangan dengan
filsafat-filsafat yang kelihatannya hanya akan dimengerti oleh
orang orang dewasa. Dapatlah diambil contoh, pelatihan untuk
tidak berbohong, berikanlah penjelasan singkat mengapa tidak baik,
beritahu anak Anda bahwa jika berbohong, dapat menyebabkan orang lain
tidak akan mau percaya lagi apapun yang diucapkan lain kali.
Memperkenalkan
syair-syair yang mudah, seperti bait-bait Dhammapada juga akan
menambah wawasan anak-anak. Misalkan untuk mengembangkan sifat
tidak membenci, bagi anak-anak dapatlah diterangkan syair
Dhammapada 5 (Yamaka Vagga – Syair berpasangan):
"Kebencian
tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak
membenci, Inilah hukum abadi."
Perlu
juga adanya persiapan referensi buku-buku Dhamma yang cocok
untuk anak, misalkan buku ‘Ketika Anak Bertanya’ karangan Dhamma
K.Widya, ‘Sang Buddha Pelindungku’ seri I sampai VI, terbitan
Sangha Thervada Indonesia, dan banyak lagi buku lain yang dapat
Anda peroleh di vihara-vihara sekitar Anda.
Selain
itu anak-anak mempunyai kecenderungan yang tinggi terhadap
musik/lagu, oleh karena itu orangtua dapat memperdengarkan
lagu-lagu Buddhis kepada anak-anak sejak dini. Saat ini sudah
banyak sekali lagu-lagu Buddhis untuk anak-anak yang dapat dibeli
di bursa-bursa vihara maupun toko-toko Buddhis.
Karakter anak
Sang
Buddha mengajarkan Dhamma kepada para raja, pengemis, tuan
tanah, petani, prajurit, pedagang, budak, filsuf, dan sebagainya.
Beliau mengerti sepenuhnya karakter dari setiap orang yang
berbeda, dan menyampaikan Dhamma yang mudah dimengerti dan
dipahami dengan cara-cara yang disesuaikan dengan karakter
masing-masing. Dengan cara yang sama kita harus berusaha
mempelajari dan memahami karakter anak-anak kita agar kita dapat
mengajarkan Dhamma pada mereka dengan cara paling efektif.
Misalkan anak suka menggambar, berikan buku menggambar dan
mewarnai tentang kisah-kisah Buddhis. Dan orangtua dapat
menjelaskan arti-arti dari gambar tersebut secara sederhana.
Kegiatan-kegiatan spiritual
Anak-anak
perlu diajak untuk selalu mengikuti peringatan-peringatan
keagamaan, seperti menghadiri hari raya Waisak, Asadha, Kathina,
Magha Puja, maupun hari-hari Uposatha, supaya merasa senang dan
puas. Mengunjungi vihara-vihara di dalam maupun di luar kota bisa
merupakan alternatif lainnya. Anak-anak perlu juga diajak untuk
mengunjungi tempat-tempat bersejarah bernuansa Buddhis, seperti
Candi Borobudur, Candi Mendut, dan kalau mampu dapat mengunjungi
tanah suci kelahiran Pangeran Siddharta (Lumbini), tempat
direalisasikannya Penerangan Sempurna (Bodhgaya), tempat Maha
parinibbana (Kusinara), ataupun negara-negara Buddhis lainnya.
Jika
usia anak sudah cukup, perlu memotivasi mereka untuk ikut serta
dalam kegiatan bakti sosial ke rumah jompo, panti asuhan, kerja
bakti di vihara, dan lain-lain. Mengunjungi sanak famili dan juga
para bhikkhu adalah hal yang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan
rasa kepedulian terhadap suatu hubungan. Mengunjungi para
bhikkhu dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk menambah keyakinan
terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Jika
ada liburan sekolah, dapat juga melakukan dharmawisata ke
desa-desa yang cenderung masih lebih alamiah, dan menunjukkan
kepada anak-anak bagaimana mengembangkan cinta kasih terhadap
sesama manusia maupun binatang. Bagaikan seorang pramuka yang
baik, ajarkanlah untuk menolong wanita tua untuk membawa keranjang atau
mendorong kereta dorong, dan sebagainya. Ajarkan untuk membawa
seekor ikan yang hampir mati karena kurang air ke dalam kolam yang
airnya cukup.
Kekebalan terhadap ajaran non-Buddhis dan materilisme
Orangtua
harus memberikan perhatian dengan penuh kewaspadaan agar
anak-anak tidak ditarik ke dalam jaring ‘ajaran lain’ dan juga
materialisme, sehingga membuat pikirannya terbuka pada pancaran
sinar Dhamma.
Perlu
disadari, khususnya di Indonesia, agama Buddha merupakan agama
minoritas dan di kelilingi oleh agama-agama ‘non-Buddhis’ dengan
fasilitas dan sarana yang jauh di atas agama Buddha. Contoh paling
sederhana penjaringan terjadi melalui beberapa sekolah bermutu
yang dikelola oleh lembaga dari suatu ‘agama’ tertentu, sehingga
banyak sekali anak-anak yang orangtuanya Buddhis menyekolahkan
anaknya di sekolah-sekolah tersebut. Memang tidak wajib untuk
menyekolahkan anak kita di sekolah-sekolah Buddhis karena mutunya
yang kurang bagus, namun kita harus benar-benar mem-perhatikan
perkem-bangan anak kita, sehingga tetap berpegang pada Buddha, Dhamma,
dan Sangha.
Mengingat
kondisi-kondisi lingkungan yang dijelaskan di atas, sangat perlu
dijelaskan perban-dingan-perbandingan antara agama Buddha dengan
agama-agama lain kepada anak kita. Kita harus menunjukkan
keistimewaan ajaran Buddha dibandingkan dengan yang lain,
sehingga membuat anak-anak kita kebal terhadap pengaruh-pengaruh
luar, termasuk materialisme.
Di
samping itu, saat anak-anak kita menanjak dewasa dan terutama
selama masa remaja yang romantis, ada beberapa ritual yang menarik
perhatian mereka, khususnya melalui musik, lagu, panduan suara,
dan lain sebagainya. Untuk mencegah anak kita tertarik ke suatu
ajaran non-Buddhis hanya karena musik semata-mata, dianjurkan
supaya anak-anak sejak dini dikenalkan dengan musik, terutama
yang bernuansa Buddhis, untuk mencegah mereka tergiur dengan mendengar
lagu-lagu non-Buddhis.
Satu
hal penting yang harus ditanamkan terus pada anak-anak kita
adalah tanggung jawab diri sendiri. Misalnya setiap malam, ketika
anak-anak lain berdoa, anak-anak Buddhis harus melewatkan waktu
sedikit dengan meditasi dan merenungkan hal-hal yang telah
dilakukannya. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka belum
berpikir, bicara dan bertindak sesuai ajaran Buddha, maka mereka harus
berusaha untuk mengerti bagaimana menghindari kesalahan itu di
lain waktu. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka tidak dapat
menghindari pikiran ataupun perbuatan buruk, maka orangtua harus
membantu mereka, sehingga dapat pergi tidur dengan tekad untuk
berbuat yang lebih baik pada esok harinya. Di pagi hari mereka
dapat memulai hari yang baru dengan merenungkan kembali tekad
mereka. Dengan cara ini, anak-anak akan mampu mengembangkan
kekuatan dari pikiran mereka sendiri, sambil memurnikan pikiran
dengan menanamkan kebaikan atau ketrampilan berpikir, berkata dan
bertindak. Demikian juga jika anak-anak non-Buddhis melakukan doa
sebelum makan, anak-anak Buddhis dapat diajarkan untuk merenungkan
fakta bahwa makanan yang mereka makan adalah berfungsi untuk
kesehatan fisik dan mental, bukan untuk berfoya-foya atau
bersenang-senang.
Hukum
karma akan menunjukkan kepada anak-anak kita lebih jelas
dibandingkan dengan janji-janji indah yang didogmakan oleh ajaran
tertentu. Anak-anak kita akan dituntun untuk melihat hukum
sebab-akibat, ibarat biji pepaya akan tumbuh jadi buah pepaya dan
tidak akan menjadi buah semangka, penebar kebajikan akan
mendapatkan kebahagiaan sedangkan penebar kejahatan akan mendapatkan
penderitaan.
Tanggung
jawab diri sendiri yang ditanamkan dengan baik akan membentuk dan
mengembangkan kualitas batin anak kita, sehingga akan membentuk
dan memperkuat benteng alamiah terhadap agama kepercayaan lain di
satu sisi dan menghindari penyalahgunaan filsafat mengenai
materialisme di sisi lain.
Dengan
uraian singkat di atas, semoga setiap orangtua Buddhis bisa
terbuka dan mau melihat betapa pentingnya dan berharganya
‘pendidikan melalui keluarga’ terhadap anak-anak kita. Orangtua
mempunyai peranan yang sangat penting bagaimana diri sang anak
dibentuk.
Semoga
kita tidak lagi mendengar pendapat: ‘Anak kami dapat memilih
agamanya nanti, tepat seperti yang kita lakukan, dan kita tidak
mempunyai hak untuk menentukannya.’
Anda
sebagai orangtua, pasti sudah pernah mencari kesana kemari, dan
menemukan bahwa agama Buddha adalah yang paling bagus ataupun
cocok buat anda, mengapa anda masih ingin membiarkan anak anda
mencari sendiri, setelah ajaran-ajaran dogma ataupun materialisme
telah bekerja, dan anak-anak kita tidak lagi mempunyai kebebasan
intelektual. Kita telah kalah ‘start’, di mana anak-anak sudah
di-dogma sejak masuk sekolah dan hampir setiap hari dilakukan
penanaman kepercayaan lain secara bertahap, sedangkan kita tidak
melakukan apa-apa, apakah itu masih ‘adil’ bagi anak Anda?
Di
dalam misi penyebaran Dhamma, Sang Buddha bersabda kepada enam
puluh Arahat: "Kotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awal, mulia
pada pertengahan, mulia pada akhir. Umum-kanlah tentang kehidupan
suci yang benar-benar suci dan sempurna dalam ungkapan dan dalam
hakekatnya, demi keselamatan dan kesejahteraan semua makhluk".
Mengapa
anda yang sudah mengenal Dhamma tidak anda sebarkan dan ajarkan
kepada anak, yang pasti merupakan orang yang paling anda
sayang?Membiarkan anak anda memilih agamanya tanpa dibimbing
mengenai Buddha Dhamma adalah bagaikan melepaskan anak buta di
hutan yang berbahaya tanpa diberi perlengkapan apapun, salah-salah bisa
tertusuk duri, dimakan binatang buas, masuk jurang ,dsb.
Ingatlah,
bahwa dari segala jenis pemberian baik materi maupun non-materi,
pemberian Dhamma adalah pemberian yang paling berharga,
bagaimana anda sebagai orangtua Buddhis bertanggung jawab karena
kelalaian memberikan hadiah ini kepada anak anda?
[ Dikutip dari Majalah Dhammacakka ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar